Sudah sejak lama, dalam tradisi Bugis, peran perempuan tidak hanya
dijadikan simbol kejelitaan atau pengasuh rumah tangga bagi suami dan
anak-anaknya. Tapi juga, perempuan Bugis sudah ikut mendominasi pranata
sosial-budaya dan politik di kerajaan-kerajaan Bugis jauh sejak masa
epos La Galigo mula dikisahkan. Nenek moyang Bugis yang disebut
Tomanurung dikisahkan tidak saja hanya seorang lelaki bernama Batara
Guru, tapi juga disandingkan dengan personifikasi perempuan jelita
bernama We Nyilik Timo, permaisurinya. We Nyilik Timo juga dipercaya
sangat berperan melahirkan gagasan-gagasan besar tentang pondasi
bangunan kebudayaan Bugis awal.
Dalam buku History Of Java (1817) Thomas Stanford Raffles mencatat kesan kagum akan peran perempuan Bugis dalam masyarakatnya: “the women are held in more esteem than could be expected from the state of civilization in general, and undergo none of those severe hardships, privations or labours that restrict fecundity in other parts of the world” [perempuan Bugis Makassar menempati posisi yang lebih terhormat daripada yang disangkakan, mereka tidak mengalami tindakan kekerasan, pelanggaran privacy atau dipekerjakan paksa sehingga membatasi aktifitas/kesuburan mereka, dibanding yang dialami kaumnya di belahan dunia lain] (Raffles, History Of Java, Appendix F, “Celebes”: halaman lxxxvi)
Dalam buku History Of Java (1817) Thomas Stanford Raffles mencatat kesan kagum akan peran perempuan Bugis dalam masyarakatnya: “the women are held in more esteem than could be expected from the state of civilization in general, and undergo none of those severe hardships, privations or labours that restrict fecundity in other parts of the world” [perempuan Bugis Makassar menempati posisi yang lebih terhormat daripada yang disangkakan, mereka tidak mengalami tindakan kekerasan, pelanggaran privacy atau dipekerjakan paksa sehingga membatasi aktifitas/kesuburan mereka, dibanding yang dialami kaumnya di belahan dunia lain] (Raffles, History Of Java, Appendix F, “Celebes”: halaman lxxxvi)
We tenri olle perempuan bugis yang juga penguasa di
Tanete mendirikan sekolah rakyat yang lebih dahulu 1890an daripada kartini dan
sartika. We tenri olle mendirikan sekolah rakyat yang tak membedakan jenis
kelamin, status sosial di Tanete. Siapapun dapat bersekolah.
Selain we tenri olle tercatat beberapa perempuan
yang berpegaruh di kerajaan bugis : We Tenri Rawe (Raja/Pajunge ri Luwu,
abad 14), Adatuang We Abeng (1634, Ratu Sidenreng), Datu Pattiro We
Tenrisoloreng (1640-Bone), We Batari Toja Daeng Tallang (1724 – Bone), Adatuang
Adi We Rakkia Karaeng Kanjenne (1700an, Sidenreng), Soledatu We Ada (ratu
Soppeng, istri Arung Palakka, 1670), We Maniratu Arung Datak (1840-Bone), Besse
Kajuara (1860-Bone), Andi Ninong dan Petta Ballasari (Ranreng Matoa Wajo, abad
20), Andi Depu, Datu Balanipa Mandar, Andi Pancaetana (1915, penguasa
Enrekang).